Indonesia dan Ideologi Partai Politik

Athens

Di negara-negara yang memiliki sistem multi partai tetapi terdapat dua partai yang mendominasi, seperti Amerika (Republik & Demokrat) atau Inggris (Buruh & Konservatif), setiap partai memiliki ideologi yang kontras satu dengan yang lain. Sebagai contohnya, dalam menanggapi masalah-masalah sosial, Partai Republik di Amerika bergantung pada ideologi konservatifnya, sementara Partai Demokrat merujuk pada ideologi yang lebih liberal. Di bidang ekonomi, konstituen-konstituen dan politisi-politisi yang terafiliasi dengan Partai Republik mendukung ekonomi yang lebih berpusat pada sektor privat dan bebas (laizzez-fair), sementara anggota Partai Demokrat percaya bahwa pemerintah memiliki peran besar dalam manajemen kapital. Mahasiswa Amerika yang suka politik (setidaknya yang saya kenal), jika ditanya mengenai preferensi partai mereka, akan dengan mudahnya menyebut buku filosofi yang membuat mereka mendukung partai tertentu. Kategorisasi berikut sangat baku dan restriktif, tapi tidak salah berargumen bahwa para Republicans menyukai Ayn Rand, Friedrich Hayek, J.S. Mills, sementara para Democrats terinspirasi oleh tulisan-tulisan John Rawls atau John M. Keynes.

Di Indonesia, perbedaan ideologi antar partai tidak terlalu terlihat. Beberapa partai utama memegang teguh ideologi pancasila, namun berdasarkan visi-misi partai yang saya baca di internet interpretasi Pancasila sangatlah luas dan umum; sulit untuk mencari perbedaan utama Partai Demokrat dan Golongan Karya, sebagai contoh. Atau antara Partai Gerindra dan Hanura. Perbedaan ideologi yang sangat jelas hanya terlihat pada partai yang secara publik mendeklarasikan bahwa mereka mengusung ideologi agama, seperti Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Kebangkitan Bangsa (Islam) atau Partai Katolik (Katolik). PDI-P juga cukup khusus, karena ideologinya merangkul semangat Marhaenisme, yang setelah saya pelajari secara tidak mendalam, condong pada kemasyarakatan, pro-proletariat (menggunakan istilah Marx), dan gotong-royong. Hanya partai-partai yang berbasis pancasila yang menurut saya sedikit ambigu. Saya sendiri belum pernah belajar langsung mengenai politik Indonesia (saya belajar politik Indonesia secara tidak langsung ketika di bangku SMA Taruna Nusantara), tetapi menurut saya pribadi, ambiguitas makna ideologi Pancasila dari banyaknya partai di Indonesia ini memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri.

Kelebihannya, politisi memiliki insentif kuat untuk masuk di ranah politik bukan berdasarkan ideologi, tetapi pada kebijakan publik. Dengan demikian, masyarakat akan memilih wakil rakyatnya berdasarkan praktikalitas proposal kebijakan publik para calon wakil rakyatnya. Dalam situasi ini, tidak ada konstituen yang benar-benar loyal pada satu partai karena ideologinya sama dengan ideologi partai yang ia dukung (kecuali kalau di Indonesia, loyalitas ke sebuah partai bukan berbasis ideologi, tetapi tergantung pada tradisi keluarga. Sebagai contoh, banyak teman saya yang mendukung Golkar karena mendukung Golkar merupakan tradisi keluarga besarnya). Dengan kata lain, ambiguitas makna ‘Pancasila’ akan memancing banyak swing votersyang pada akhirnya, mungkin, memilih suatu kandidat figur publik berdasarkan kualitas proposal kebijakan publik kandidat tersebut. Bukan berdasarkan kepercayaan atau ideologi semata.*

Satu kelebihan lagi, menurut saya: pemerintah yang partainya berideologi Pancasila memiliki fleksibilitas mengenai kebijakan apa yang sebaiknya mereka ambil, selama tolak ukur keputusannya masih dalam naungan Pancasila. Tidak akan ada oposisi yang menyerang ideologi pemerintah tersebut; dan time inconsistency dihadapan publik tidak akan menjadi masalah yang besar. Pengambilan kebijakan ekonomi-nya situasional (tergantung pada keadaan kini, dan efeknya nanti), bukan ideologis (i.e. bukan kewenangan pemerintah untuk membantu mengeluarkan Indonesia dari resesi ekonomi dengan meningkatkan anggaran pengeluaran pemerintah; lebih baik memotong pajak). Ekonom-ekonom yang masuk ranah politik Indonesia, kemungkinan besar, adalah ekonom-ekonom non-partisan.

Bagaimana dengan kekurangannya? Sejauh ini, kekurangan yang bisa saya pikirkan ada dua. Pertama, disisi politisi. Menurut saya, percaya pada sebuah filosofi politik dan mengapresiasi filosofi politik lainnya adalah karakteristik penting yang seorang politisi Indonesia harus miliki. Politisi yang mendukung ideologi Pancasila (yang menurut saya adalah ideologi yang harus kita banggakan, sebagai anak didik Soekarno-Hatta), karena tidak memiliki ideologi yang bertentangan atau sangat berbeda, cenderung untuk tidak memahami bagaimana filsuf-filsuf politik membentuk pandangan politik yang sekarang dipegang teguh oleh bangsa atau orang lain. Ketidakpekaan terhadap ideologi politik yang diusung oleh masyarakan lain di belahan dunia lain adalah suatu kelemahan–di sebuah kompetisi debat, seorang debater yang baik tidak hanya menguasai materinya (ideologinya), tapi juga mampu untuk menganalisa dan mendeskripsikan kelemahan materi (ideologi) orang yang ia debat. Untuk mengilustrasikan lebih lanjut, bayangkan seorang wakil rakyat yang memiliki kekuatan dalam mengambil keputusan. Ketika menjelaskan mengapa ia mengambil keputusan tersebut kepada konstituennya, ia bukan hanya harus menjelaskan mengapa keputusan tersebut berbasis pada hasil pemikiran filosofi politis yang baik, tetapi ia juga harus mampu mendeskripsikan kenapa pemikiran filosofi yang ia tentang tidak baik.**

Kedua, disisi pemilih. Kebanyakan pemilih pemula, termasuk saya, memiliki kesulitan dalam menganalisa karakteristik partai yang sesuai dengan pandangan politik dan ekonomi mereka. Mungkin ini juga berlaku pada kaum tua non-loyalis, yang tidak memiliki partai favorit tertentu dalam pemilu. Pancasila merupakan landasan dasar, tetapi seperti yang dideskripsikan sebelumnya, interpretasi Pancasila tidak homogen, dan setiap partai yang memiliki ideologi Pancasila tidak menjelaskan ideologi atau visi misinya secara mendetil; banyak partai yang menjabarkan Pancasila secara umum. Bahkan, banyak situs partai yang tidak menjabarkan secara langsung apa makna Pancasila bagi mereka. Pada akhirnya, pemilih memilih bukan berdasarkan ideologi calon wakil rakyat, melainkan berdasarkan kualitas figur calon wakil rakyat tersebut (apakah ia jujur, berpendidikan, rendah hati). Ini mungkin alasan kenapa banyak teman-teman muda yang saya kenal banyak mendukung calon wakil rakyat yang tidak memiliki afiliasi dengan sebuah partai (calon independen); karena filosofi politik yang diadopsi para calon wakil rakyat ini tidak terlalu tegas dan jelas.

Bukan berarti ini kelemahan. Saya sendiri mendukung analisis figur. Permasalahannya, banyak politisi yang Machiavellianyang berpura-pura memiliki karakteristik baik hanya demi mendapatkan suara. Seorang politisi yang berani mengungkapkan ideologi politiknya atau menjabarkan secara tegas apa ideologi Pancasilanya kepada publik memiliki kencenderungan kecil untuk bersifat Machiavellian. Rakyat dan pemilih akan tahu ideologi apa yang calon wakil rakyat percayai dan mengapa, dan calon wakil rakyat tersebut dapat secara transparan dan jujur dalam memberikan alasan kenapa ia ingin melakukan aksi A, bukan B, ketika ia menjadi wakil rakyat nanti.

Mana yang lebih baik, sistem politik dimana ideologi politik memiliki peranan dominan dalam dunia politik, atau sistem politik dimana fokus utama adalah figur dan proposal kebijakan publik? Butuh penelahaan lebih lanjut untuk menjawab pertanyaan ini. Atau, mungkin saja, semua bergantung pada preferensi.

*Argumen ini dibentuk diatas premis dimana masyarakat melakukan riset sebelum pemilu, dan  politisi-politisi Indonesia tidak masuk ke dunia politik hanya demi kekuasaan dan meningkatkan kesempatan korupsi, tetapi karena ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau mematahkan leher birokrat-birokrat korup. 

**Argumen ini berlaku hanya ketika para politisi Indonesia tahu apa itu ideologi Pancasila. Dengan kata lain, ia mempelajari ideologi Pancasila secara mendalam sebelum mengabdikan dirinya kepada negara dan sebuah partai politik. Satu lagi: sebelum mempertimbangkan antara menjadi bagian dari Partai Nasional Demokrat atau Partai Demokrat, ia tahu didalam konteks apa Partai Nasdem memiliki filosofi Pancasila yang berbeda dengan Partai Demokrat. Banyak calon wakil rakyat Indonesia yang menjadi bagian sebuah partai tertentu karena akses keuangan yang fluid. Banyak juga calon wakil rakyat yang ‘peduli amat’ sama arti Pancasila; ‘yang penting pas saya jual tanah saya buat jadi calon anggota DPR, saya bisa meletakkan foto Pak SBY disebelah foto saya di banner kampanye saya nanti.’